Kamis, 30 September 2010

Bagaimana Aku Nanti Jika Aku Hanyalah Sosok Benda Terkekang




# Aku tlah  lelah mengikuti
Semua langkah kakimu
Dan berharap bisa memilikimu
Berbagai cara telah aku lakukan
Untuk hidupmu….
Hingga aku mengorbankan hidupku
Buka hatimu….
Bukalah sedikit untuku..

            Tahu lagu ini?
            Semua pasti hapal lagunya. Tapi dalam hal ini, bukan diartikan untuk kisah romantika percintaan di dunia para remaja. Melainkan konflik hati seorang anak yang beranjak dewasa terhadap kekangan, beban fikiran, emosi seorang anak pada orang tua, pada rumah, pada lingkungan keluarga.
            Keluarga yang berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu KULA dan WARGA “kulawarga”, berarti “anggota” atau  “kelompok kerabat”. Dan keluarga dapat diartikan sebagai lingkungan dimana terdapat beberapa orang yang masih memiliki hubungan darah. Adapula yang dikatakan  “keluarga inti” (nuclear family) yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak – anaknya. Dan keluargalah yang menjadi tempat pembelajaran pertama, alat sosialisasi pertama, dan juga sebagai tempat bergaul yang pertama kalinya.
            Tapi bagaimana jika seorang anak terkekang, dan benar – benar merasa tidak nyaman dalam keluarga?
            Kala itu ku lihat sebuah benda terkapar di gemerlap lantai diskotik, entah sengaja ataukah tidak terdengar olehku suara jeritan hatinya yang mengamuk, emosi, menangis, dan dalam keadaan mabuk seperti saat itu. Terdengar sedikit samara suara jeritannya “bagaimana aku nanti jika aku hanya hidup dalam kekangan? Aku tak mau pulang malam, aku tak mau mabuk seperti ini, aku ingin mereka seperti yang ku harapkan”. Diskotik yang bising, dan ramiapun seakan seperti sebuah tanah pekuburan yang sepi untukku seletah mendengarnya. Anehnya aku berteriak padanya ditengah kebisingan “Kau anak pemberontak nak!”
            Di kala yang kedua, saatku ingin memotret tubuhku dengan sebuah kamera kesayanganku, dengan latar di emper – emper pasar yang kumuh dan begitu padat. Ku dapati sosok benda yang terkekang, namun dengan daya yang berbeda dengan benda yang ku temui di diskotik lalu.
            Kali ini dia menangis sejadi – jadinya, dia lemah, dia tak sempurna, dan diam tak berdaya. Ku tengadahkan wajahnya dengan mengangkat dagunya, sambil ku kecup sedikit bibisnya yang merah basah air mata, “Kau cengeng saying, tak sepantasnya kau begini. Tak usah kau terbelenggu dengan kekangan – kekangan yang kau rasakan. Berbuatlah sejadinya, sebisa, dan seperti yang kau inginkan”.
            Dan inilah kala ketiga ku, yang ku fikir begitu membosankan. Saat itu, hatiku  termenung menyisiri pantai yang menenangkan dan terkadang meninggikan emosiku karena gemuruhnya. Bruk… seorang kakek tua yang ku fikir depresi tiba – tiba menubrukku hingga kami jatuh bersamaan. Tiba – tiba pula beberapa detik setelah ia berlari – lari kecil sampai akhirnya jauth menabrakku. Kakek tua itu menangis, merengek, memanggil – manggil ibunya. Ya ampun sungguh seperti seorang anak kecil berumur 5tahun.
            Ku fikir mungkin benar dugaanku tadi, kakek – kakek ini pasti depresi berat. Mungkin karena di tinggal ibunya, atau istrinya, atau entahlah. Tapi aku bingung. Harus bagaimana aku? Bagaimana caraku membuatnya berhenti menangis?
            Selang beberapa menit, dating seorang ibu muda yang ku taksir umurnya sekitar 40an. Lari tergesa – gesa seperti mencemaskan sesuatu. Tapi kenapa dia berlari ke arahku? “Oh, mungkin dia adalah anak si kakek yang dengan sabar merawatnya.
            “Aduh anak mama. Kamu tidak apa – apa sayang? Apa yang sakit? Cup – cup. . .jangan menangis lagi ya saying, nanti mama belikan es krim kesukaanmu ya!” rayu si ibu dengan lembut.
Hah? Seorang perempuan 40 tahun memiliki anak seorang kakek – kakek.?
            Tak mungkin. Ini tidak akan mungkin. Apa – apaan ini? Semua kekonyolan ini tak lucu bagiku. Membuatku merasa sangat mual.
            Lalu seorang lelaki berbadan tegap berusia sekitar 48 tahun yang terlihat sangat sangar, dan galak mendekatiku. “Tenang nak, dia anak kami”. Aku semakin kaget, dan aku berfikir apa ini ada hubungannya dengan kedua benda yang ku temui di waktu yang lalu?
            Mungkin saja iya. Akhirnya dapat ku simpulkan, ternyata ini akibat dari kekangan itu.
            Bagi semua pembaca mungkin ada yang menganggap tulisan ini sungguh sangat konyol. Bahkan mungkin mencibirnya. Namun inilah yang saya sebut pengibaratan. Tapi pasti ada juga yang berkata “Ya ampun kasihan juga ya anak – anak yang terkekang” atau “alah menurut saja, itu kan orang tuamu. Bagaimanapun mereka kau tetap harus tunduk!”. Atau bahkan menagis, terharu, tertawa sampai terpingkal – pingkal dari kekonyolan yang penuh arti ini.
            Itulah manusia dengan emosi dan pemahaman yang satu sama lain slaing berbeda. Saya tidak akan menyalahkan itu.
            Tapi jelas dari cerita saya ini kita dapat menyimpulkan kembali, bahwa sedikitnya ada 3 (tiga) hal negative yang dapat ditimbulkan oleh kekangan, apakah sang anak itu menjadi lebih menyenangi kehidupan luar yang bebas, dan bahaya demi kesenangan semata, membangkang, lemah, pendiam, atau bahkan mentalnya tidak berkembang sesuai dengan umurnya. Sehingga si anak hanya dapat bergantung pada orang tua tanpa mengetahui luasnya dunia luar yang bisa dipositifkan. (end)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar