Senin, 27 September 2010

Cinta Sejati yang Hilang Untuk Selamanya

Tema : Semangat Untuk Bangkit

Cinta Sejati yang Hilang Untuk Selamanya

            Huh…hari minggu memang yang melelahkan untukku. Kerja, kerja, dan kerja. Itulah caraku mengisi weekend setiap minggunya. Bekerja di suatu lembaga social khusus konsultasi HIV dan pengendalian psikologi remaja. Walaupun memang usiaku saat ini masih belum genap 17 tahun. Terang saja berbada dengan para senior – seniorku yang usianya berkisar sekitar 20 tahun ke atas. Tapi aku tak sedikitpun merasa risih dan canggung, karena aku fakir inilah yang ku sebut pengalaman hidup. Mencari ilmu dan menyumbangkan ilmu yang ku miliki walaupun memang ilmu yang ku punya tak seberapa.
            Hari ini adalah hari minggu, itu artinya inilah saatnya aku pergi bekerja. Jam kini menunjukan tepat pukul 08.00. Wah gawat aku kesiangan lagi, untungnya perjalanan dari rumah ke tempat kerja tidak begitu jauh mungkin hanya memakan waktu kurang lebih sekitar 10 atau 15 menit saja.
            Sebenarnya ada satu hal yang membuatku tidak betah berlama – lama diam di kantor, yaitu adanya Mas Randi seniorku yang super menyebalkan dan jahil. Hari pertama bekerja di sana aku sudah terperangkap ke dalam jebakannya, celanaku kotor karena ditempeli permen karet oleh Mas Rendi. Mengesalkan bukan?
            Ceritanya, sampailah aku di di tempat kerjaku. Di halaman nampak Mbak Nita dan Mas Iful yang sedang membereskan berkas – berkas, entah berkas – berkas apa. Aku menghampiri mereka untuk sekedar menyapa, “Namaste all !” sapaku. “Hei si kecil sudah datang rupanya ! Hebat pagi sekali kau datang sayang.” Seru Mas Iful meledekku. Tanpa ku hiraukan ledekan dari Mas Iful aku terus berjalan menuju ruang kerjaku. Entah kenapa hari ini rasanya begitu malas dan sangat membosankan tak ada semangat sedikitpun hari ini. Apalagi saat masuk ke ruang kerjaku, aku di sambut dengan map - map yang berbeda warna menumpuk di meja kerjaku. Map tersebut berisi biodata pasien yang khusus di serahkan padaku yang akan datang hari ini dalam jam yang berbeda. Itu artinya pekerjaanku hari ini menumpuk dan sudah dapat di pastikan aku pulang lebih sore dari biasanya hari ini. Karena dengan satu pasien saja aku dapat menghabiskan waktuku minimal 30 menit. Tak sedikitpun ku buka apalagi ku baca map – map itu. Rasanya sangat malas.
            Aku berjalan ke ruang kerja Mas Randi. Walaupun sebenarnya sangat malas bertemu dengannya di pagi hari seperti ini. Bisa – bisa hari liburku lebih hancur karena melihat orang yang paling menyebalkan bagiku. Tapi aku terus berjalan dengan tujuan semoga dia mau membantuku menghadapi pasien yang begitu banyak hari ini. Tak berapa lama samapilah aku di ruang kerjanya, ternyata Mas Randi sedang duduk dengan santainya sambil menghisap sebatang rokok. Aduh….baru melihatnya saja aku sudah merasa sangat kesal, sesak, dan rasanya ingin melemparnya ke lautan sana agar aku tak melihatnya lagi. Aku duduk di kursi dengan wajah kesal, “Mas msemua map ini apa harus aku yang mengerjakan? Terus Mas kerja apa dong? Gak ada andilnya banget. Orang lain sibuk, ini malah enak – enakan di sini. Bantuin kerjaan aku dong Mas !” pntaku. “Laah itu kan memang tugasmu. Ngapain aku capek – capek bantuin kamu. Psikologi kan memang bagianmu. Malas aku ! Pergi sana, dasar anak kecil kerjanya ganggu mulu kesenangan orang!” Bentaknya sambil menjitak kepalaku.
            Hatiku kesal sekali. Ingin rasanya aku membalas sikapnya yang begitu menyebalkan itu. “Ukh….dasar cowok menyebalkan, jelek, sok cool, perjaka tua. Kalau aku bukan juniormu sudah aku jitak 100 kali kepalamua itu !” ( bentakku dalam hati ) . akupun keluar dari ruang kerjanya dengan menggandeng rasa kesal.
            Setelah itu pasienku berdatangan dari mulai orang depresi hingga orang yang sekedar ingin curhat padaku. Hufh….waktuku terkuras lama sekali. Waktu kini menunjukan pukul 15.00. aku belum bisa pulang karena masih ada satu pasien yang harus aku tangani lagi.
            Tak lama kemudian Mas Iful dating ke ruang kerjaku, “Hei nona cantik, lelah yahh? Semangat lah ! tinggal satu pasien lagi kok. Ini udah dating. Langsung di suruh masuk sajakah? Atau mau istirahat dulu?” Tanya Mas Iful ramah. “Langsung saja Mas kepalang capek aku.” Balasku lemas. “OK” sambil bergegas pergi memanggil pasien terakhir itu.
            Oh iya….yang aku ceritakan adalah mengenai pertemuanku dengan seorang pasien yang mengalami depresi karena di vonis terjangkit HIV yang sudah cukup parah. Kira – kira siapa ya orang itu?
            Hmmm….kira – kira sepuluh menit kemudian datanglah seorang ibu bersama dengan seorang anak laki – laki yang terlihat sangat lesu, pucat, dan pandangan yang kosong entah dimana fikirannya tengah berimaji, seakan – akan sudah tak ada lagi gairah hidup atau mungkin tak mengenal kata gairah hidup itu seperti apa wujudnya. “Permisi neng, boleh ibu masuk?”Tanya ibu paruh baya itu dengan lembut dan suara lirih menahan sedih yang teramat sangat dirasakannya. Seketika fikiranku buyar karena suara sang ibu. Aku melihat anak laki – laki itu dan seketika entah kenapa aku merasa simpatik yang berbada di bandingkan pasien – pasienku yang lain. “Eh…emmm..anu..iyah bu silahkan…silahkan masuk bu” balasku sedikit gugup. “ayo bu silahkan duduk” sambutku sambil melempar senyum ramahku. Dan ibu itu pun duduk di kursi tepat di depan meja kerjaku bersama anaknya yang sedari tadi hanya diam tanpa mengerakan bibirnya sedikitpun. Namun ada yang aneh dari caranya memandangku, entah apa yang aneh itu tak bisa ku jelaskan karena yang ku rasakan hanyalah tatapan kosongnya kini telah penuh.
            Sesegera mungkin aku alihkan fikiranku dari imaji laki – laki itu.  “Ekhhmm…ada yang bisa saya Bantu bu?” tanyaku dengan ramah memulai percakapan. “Hiks…hikss….begini neng anak ibu…….anak ibu divonis terjangkit HIV neng. Ibu bingung sekali apa yang harus ibu lakukan saat ini makannya ibu datang ke sini untuk berkonsultasi. Ibu ingin memulihkan anak ibu. Setelah dia tahu bahwa dia di vonis terjangkit HIV  dia mengalami depresi berat. Sehari – hari dia hanya mengurung diri di kamarnya, terlebih setelah teman perempuannya pergi karena tidak mau menerima keadaannya dia jadi lebih sering mengamuk, menangis, tapi terkadang juga hanya melamun tanpa bisa di ajak bicara” jelasnya sambil terus terisak – isak. “Ibu hanya ingin dia kembali ceria seperti biasanya, seperti dulu lagi. Walaupun dia telah terjangkit HIV ibu ikhlas neng sama yang di atas yang penting anak ibu kembali ceria seperti dulu lagi” lanjut sang ibu.
            Tanpa disadari air mata keluar dari sela – sela mata sang anak dan akupun mencoba untuk masuk dan mencerna keadaan ini, mengartikan setiap kesedihan sang ibu dan mengerti arti setiap butir tetes air matanya.
            Dengan masih menggunakan etika aku meminta sang ibu meninggalkan kami berbicara berdua dengan anaknya. Sepertinya ibu itu cukup mengerti apa yang ku minta, dan dengan segera sang ibu pergi peninggalkan kami berdua di ruang kerjaku ini.
            Sekejap rasa lesuku ini hilang saat menatap matanya yang mulai penuh dengan berbagai kanyataan yang harus dia sadari sebelumnya. Ya tuhan di depanku, tepat di depanku duduk seorang lelaki seusiaku yang di jilai cukup tampan dengan keadaan yang tidak seharusnya. Terjangkit HIV di usianya yang semuda ini. Kebiasaannya memakai narkoba membuatnya terjerumus lebih dalam ke dalam lubang hitam yang akhirnya hanya membuatnya terpuruk. Namanya Rio Adijaya namun lebih sering di panggil Iyo. Nama manja dari sang ibu yang saat ini sedang bingung memikirkan nasib anaknya. Maklumlah dia adalah anak semata wayangnya.
            Cukup lama kami hanya saling beradu pandang. Saling membaca fikiran satu sama lain. Mencoba menjelajahi setiap centi imajinya kami masing – masing. Akhirnya aku beranikan diri mumbuka mulutku untuk berkata sesuatu walaupun memang aku masih begitu bingung harus di mulai dari mana aku berbicara. Yang aku fikirkan saat ini hanyalah bagaimana caranya aku bisa mendekatinya dalam waktu yang singkat dan mengajaknya berbicara. “hai boleh aku tahu siapa namamu? Dari tadi kita hanya berdiam diri saja tanpa tahu nama kita masing – masing” aku memulai percakapan sambil mengulurkan tanganku untuk sekedar berkenalan. Lama dia hanya menatap tangan dan mataku bergantian. “Untuk apa berkenalan dengan seorang wanita? Kau tahu aku di tinggalkan pacarku sendiri karena keadaanku yang seperti ini sekarang. Kau fikir nona yang cerdas dan terhormat siapa penghancur di dunia ini? WANITA !!” emosinya seketika membara. Akupun berusaha untuk tenang dan tidak menghiraukan emosiku sendiri. “Tuan yang pintar coba anda fikir kembali, kalau memang saya adalah salah satu dari wanita yang anda sebut tadi lantas apa alasan saya bekerja di tempat ini? Yang selama ini mencoba memulihkan ratusan bahkan mungkin ribuan orang sepertimu. Dan coba kau fikirkan ibumu. Apa beliau juga termasuk dari wanita – wanita yang anda sebutkan tadi? Yaa saya maklum apabila anda berbicara penuh emosi seperti ini justru saya bersyukur anda mau berbicara dengan saya padahal sebelumnya tidak ada yang bisa mengajakmu bicara sedikitpun kecuali angin. Ya kan?”
            Mungkin kau hanya ingin di pandang baik oleh orang lain sehingga kau bekerja di sini. Aku terpaksa berbicara karrena aku kesal pada perempuan sok pintar, sok baik seperti kalia.” Bicaranya semakin kasar dan mulai berani menunjuk – nunjuk wajahku.
            Dalam hati aku memang kesal di tunjuk – tunjuk seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi ini resikoku lagipula dia kan sedang dalam keadaan depresi berat jadi aku tidak bisa menyalahkan atas ketidak sopanannya. “OK apabila anda tetap mau menilai saya seperti itu. Saya tidak akan melarang dan tenang saja saya tidak akan marah sedikitpun. Malah mungkin saya bisa tertawa terpingkal – pingkal” jawabku mencoba untuk memancingnya ke dalam keheranan dan membuatnya berfikir keras karena menurutku itulah salah satu cara yang mudah agar emosinya dapat cepat turun. Aku hanya tersenyum melihat wajahnya yang sedari tadi teheran – heran atas perkataanku. “Maksudmu apa? Memangnya aku lucu untukmu?” tanyanya heran walaupun masih sedikit emosi. “Ya seorang yang depresi dapat begitu mudah ku pancing hanya dengan mengajak berkenalan. Apa jangan – jangan ini yang kau tunggu? Sedari tadi ku lihat kerjamu hanya memperhatikanku” serangku hanya untuk mencoba dekat dengannya secepat mungkin. Tidak lupa ku lempar senyum semanis mungkin padanya walau sebenranya aku ingin menjitaknya karena perkataannya yang begitu angkuh dan menghina perempuan sedemikian rupa dengan argumennya.
            Diapun memalingkan pandangannya dari wajahku, “PD sekali kau bicara nona cantik. Secantik apapun kau aku tidak akan pernah tertarik. Kau tahu nona aku ini penderita HIV yang sudah cukup parah. Tidak akan ada seorangpun yang mau dekat denganku sekarang jadi tak perlu kau berpura – pura baik padaku. Karena aku tahu sebenarnya kau juga jijik kan padaku? Kau mau dekat denganku karena memang ini tuntutan kerja. Sudahlah mengaku saja” sergahnya membuatku semakin kesal tapi aku harus tetap sabar. Sabar….Sabar…..Sabar….
            “Siapa bilang tidak ada yang mau dekat denganmu sayang? Ibumu ! kamu lihat ibumu yang selama ini menyayangimu. Dia menangis karena kau tak amu bicara padanya. Kau menyiksa dirimu sendiri dengan berdiam seperti ini. Dan kau lihat aku sebagai orang yang bekerja di sini yang peduli akan kesembuhan mu, semangatmu, hidupmu, keceriaanmu. Jangan pandang aku sebagai wanita yang kau benci. Kau tahu tuan aku bekerja disini awalnya di tentang orangtuaku mereka bilang terlalu beresiko bekerja di sini. Tapi setelah aku jelaskan mereka setuju. Jadi apa kau masih mau menyebutku sebagai seorang wanita jahat yang bertopeng kebaikan agar di pandang baik orang?” jelasku lebih menekan. Dan diapun terdiam, hanya mengangguk – anggukan kepalanya sesekali. Ku fikir dia sudah sedikit mengerti apa yang ku maksud dari semua pembicaraanku ini.
            Dan yang membuatku kaget beberapa saat setelah dia terdiam tadi. Dia mengeluarkan air mata. Akupun terhanyut melihatnya. Entah apa yang ku fikirkan tiba – tiba saja tanganku mengusap linangan air mata yang jatuh di kedua pipinya. Dan entah apa pula yang membuatnya luluh, tiba – tiba saja dia tersenyum dan mengulurkan tangannya padaku. “Namaku Rio nona panggil saja aku Iyo” jelas aku kaget melihat perubahan sikapnya padaku, ku sambut uluran tangannya “Emm..a…aa. . .akku Icha senang kau bisa ramah padaku” kami saling beradu pandang dan saling melempar senyum.
            Aduh..tak terasa waktu telah menunjukan pukul enam sore. Waktu kok berjalan begitu cepat saat aku merasa sesuatu yang beda dalam hatiku.
            Terdengar dari luar suara orang mengetuk pintu, jelas itu sangat mengagetkanku karena saat itu fikiranku sedang melayang entah kemana yang pasti dalah angan yang begitu tenang dan bahagia karena ku berhasil memulihkan sedikit sikapnya. “Cha apa semua sudah selesai?” Tanya Mas Iful sambil membuka pintu. “Eh iya Mas, pembicaraanku terlalu lama yam as? Maaf aku sampai lupa waktu begini” jawabku merasa sedikit malu.
            Ternyata di belakang Mas Iful ada ibunya Rio mengikuti dengan wajah yang masih terlihat begitu cemas. Riopun berbalik menghadap pada ibunya dan melempar senyum manis pada ibunya. Sontak ibunya kaget dan sangat senang bukan main. Ibunya langsung memeluknya menciuminya dengan penuh kasih sayang.
            Rio membalikan badannya ke arahku dan berkata “Datanglah ke rumahku untuk sekedar memeriksaku mungkin bisa jadi aku depresi lagi karena tak dapat bertemu wanita sebaik dan secerdasmu”. Ya Tuhan senyumnya begitu lembut, dan ku balas senyumannya dengan senyuman dan anggukanku yang menandakan aku setuju bahwa aku akan datang ke rumahnya sewaktu – waktu.
            Ibunya mengucapkan terima kasih padaku dan pada senior – seniorku yang saat itu ada di ruang kerjaku sambil berpamitan untuk pulang.
            Setelah kejadian hari itu aku menghubungi ibunya untuk sekedar menanyakan bagaimana keadaan pasien. Menurutku itu sangat wajar, karena itu adalah salah satu kegiatan rutinku dalam mengecek keadaan pasien yang pernah datang ke kantorku sampai aku dapat memastikan pasienku benar – benar sembuh. Tapi untuk kali ini aku merasakan hal yang berbeda, perhatianku terasa lebih dari sekedar perhatianku pada seorang pasien. Namun ku kubur jauh semua itu karena aku fikir cinta hanya akan membuat kagiatanku terbatas. Lagipula aku berfikir tidak mungkin lah aku suka pada pasienku sendiri apalagi dia seorang penderita HIV. Mau di bilang apa aku? Bagaimana aku nanti jika aku menikah dengannya?
            Sesaat aku jadi teringat akan pertanyaan Rio padaku saat itu. Terlintas kembali pertanyaannya di dalam fikiranku, “Kau tahu nona aku ini penderita HIV yang sudah cukup parah. Tidak akan ada seorangpun yang mau dekat denganku sekarang jadi tak perlu kau berpura – pura baik padaku. Karena aku tahu sebenarnya kau juga jijik kan padaku? Kau mau dekat denganku karena memang ini tuntutan kerja. Sudahlah mengaku saja”. Jujur aku merasa malu saat mengingat pertanyaan itu. Tapi ahhh itu hanya fikiranku saja. Tak mungkin aku menjalin hubungan dengan pasienku sendiri.
            Ah sudah malam. Ini saatnya aku tidur. Dan kau tahu setiap malam Rio mengirimku message untuk sekedar mengucapkan selamat tidur atau menanyakan aktifitasku. Aku hanya menjawab fine – fine saja hanya sekolah dan bekerja di kantor.
            Tak terasa dua bulan telah berlalu, saat itu hari sabtu dan tiba – tiba saja Rio menelfonku untuk mengajaku ke rumahnya dia bilang orang tuanya ingin bertemu denganku dan mengajakku makan malam di rumahnya. Akupun tak dapat menolak ajakannya karena alasan orang tuanya yang memintaku datang malam itu. Diapun berjanji menjemputku pukul 07.00 malam minggu ini.
            Saat ini waktu telah menunjukan pukul 07.15 malam. Di depan rumah terdengar suara mobil berhenti, dan turunlah seorang lelaki yang tinggi dengan paras yang manis dari mobil Honda jazz putihnya. “Ayo nona kita segera berangkat!”, baiklah ayo aku sudah siap dari tadi” jawabku sambil teresenyum. Kamipun segera melaju menuju kediaman Rio dengan perjalanan sekitar 25menit.
            Akhirnya kami sampai di sebuah rumah yang berdiri megah dengan design yang begitu bagus dan menarik. Aku tak percaya di rumah bak istana itu aku di sambut sangat baik dan di hormati seakan – akan aku dalah dewi penyelamat bagi mereka.
            Tepat jam 08.00 kami makan malam bersama sambil banyak bertukar cerita. Aku merasakan kehangatan keluarga yang begitu dekat dan erat, sehingga ada hal yang membuatku sangat heran mengapa dengan keadaan keluarga yang seharmonis dan senyaman ini Rio bisa terjerumus pada narkoba. Apa yang kurang dari hidupnya? Tapi aku tak mau membahas hal ini dalam kebahagiaan mereka toh tugasku kini telah selesai, Rio telah kembali ceria seperti semula walaupun sebenarnya aku tahu jauh di dalam dirinya Rio merasakan rasa sakit yang teramat sakit. Namun setidaknya ketenangan dan keceriaan dapat sedikit dia rasakan. Hal itu cukup membuatku sangat lega.
            Ya Tuhan rasanya aku telah jatuh cinta padanya. Tapi kenapa harus padanya? Mengapa secepat ini. Sebenarnya hati ini terasa begitu gelisah, tapi inilah yang ku rasakan bahwa aku memang mencintainya tak peduli bagaimana keadaannya, dan barapa lama aku dapat bersamanya.
            Kalian tahu kawan apa yang terjadi saat makan malam itu berlangsung. Bayangkan di depan orang tuanya dia berkata hal yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Dia memegang tanganku dan menatapku penuh arti, “Cha apa kamu juga merasakan apa yang aku rasakan sejak aku bertemu denganmu, melihatmu, dan bicara denganmu? Aku rasa aku mencintaimu Cha. You are my true love. I know it from your eyes. I know U feel this n u love me. I know you are the best for me. You are my special little lady n the one that’s make me crazy, of all the girl I ever know”. Ya Tuhan aku bingung dengan keadaanku saat ini tapi akupun begitu mencintainya dan aku yakin akan hal ini.
            “Ta….tapi aku belum mengenalmu Yo !” timpalku lirih sejujurnya aku ingin langsung menjawab bahwa perasaanku sama dengannya. “Please babe, terima aku dan beri aku kesempatan untuk mencintaimu aku tidak akan pernah mengecewakanmu aku janji” tutrnya meyakinkanku.
            Mata kami saling berpandangan satu sama lain lama sekali, sama seperti saat pertama kami bertemu di kantor dan rasa aneh ini menjadi semakin kental. Entah apa yang merasuki fikiranku saat itu tiba – tiba saja aku menjawab “Ya Rio aku merasakan semua itu sejak awak aku menatap matamu. Aku juga mencintaimu setulus hatiku. Mungkin ini memang terlalu cepat tapi inilah cintaku yang tulus” akget saat ku melihat air matanya terurai lagi untuk yang ke dua kalinya di depanku.
            Ku lirik kedua orang tuanya dan mereka tersenyum.
            Hubungan kami ini ternyata berjalan sangat mulus hingga 2tahun lebih, kau tahu kawan? Kami telah bertunangan. Untuk penyakitnya aku rasa dia telah mengalami banyak peningkatan yang sangat baik. Itu yang aku tahu darinya dan dari keluarganya dan di depanku pun dia tak pernah terlihat seperti orang yang sedang sakit parah. Dia terlihat gagah, tegar, ceria, tak ada rasa sakit da keluhan sedikitpun di matanya.
            Setiap hari kami bertemu tanpa istirahat dan tanpa bosan. Seakan dialah pelindungku selama ini. Nyaman dan tenang berada di dekatnya.
            Namun aku rasakan hal yang aneh dalam satu bulan terakhir. Jarang sekali dia menemuiku, menelfonku pun hanya sesekali saja. Aku bertanya pada orang tuanya tapi mereka menjawab Rio baik – baik saja dan wajah mereka tak pernah menunjukan kebohongan apapun, tak terlihat ada hal yang mereka sembunyikan. Aku tak berfikir macam – macam padanya karena aku percaya penuh padanya. Aku hanya berfikir bahwa dia sedang sibuk dengan urusannya sendiri dan aku mengerti itu.
            Sekitar satu minggu ini Rio benar – benar tak ada kabar. Aku menghubunginya namun dia selalu bilang dia sangat sibuk. Akupun mencoba untuk lebih tenang tanpa berfikir macam – macam.
            Kawan….malam ini adalah tepat tanggal 29 Juni , dan tanggal 30 besok tepat hari ulang tahunku yang ke 19. Namun entah kenapa tak ada ucapan selamat ulang tahun darinya. Aku berfikir mungkin saking sibuknya dia sehingga dia lupa hari ulang tahunku. Namun tepat jam 10 malam ibunya menelfonku untuk mengucapkan selamat ulang tahun padaku, dan menyampaikan salam Rio padaku. Ibunya bilang Rio sedang di luar kota bersama ayahnya. Malam itu aku sedikit tenang sambil menikmati kesetiaanku padanya.
            Saat ini tepat pukul 12.00 tengah malam handphoneku berdering. Betapa kagetnya aku ternyata Rio yang menelfonku, segera aku jawab telfonnya. “Hallo…assalamualaikum Rio” sapaku ramah. “Waalaikumsalam bidadariku yang cantik. Aku fikir kamu marah padaku, awal aku takut sekali kau ceramahi” sambil tertawa mengejeku. “Ah kenapa harus marah? Aku harus bisa mengerti kegiatanmu Yo, waktumu bukan hanya untukku”aku mencoba tenang untuk meyakinkannya. “Terima kasih saying atas pengertianmu. Oh ya selamat ulang tahun dan maaf malam ini aku tak bisa datang seperti biasanya.hahahahaa…umurmu semakin tua ya?”. “Terima kasih saying. Tidak apa – apa aku mengerti. Oh ya Rio kenapa suaramu berbeda? Apa kamu sakit?” tanyaku gelisah sekali.
            “Ah tidak aku hanya sedang kedinginan saja di sini. Kau tenang saja. Oh ya besok sore kau datang ya ke rumah ada kejutan untukmu dariku. Besok tepatnya kau berulang tahun kan? Aku tunggu kedatanganmu, jangan sampai kau tidak datang ya!” rayunya agar aku datang. “Ya syukurlah kalau kau tak apa – apa. Baiklah besok aku datang jam 3 sore ya!” telfon pun seketika terputus walaupun ada perasaan tidak enak dalam hatiku. Hingga aku tidak bisa memejamkan mataku semalaman. Ah mungkin karena aku terlalu senang akan di beri kejutan olehnya.
            Keesokan harinya aku berdandan secantik mungkin untuk sedikit menyenangkan hatinya, dan tidak lupa ku masukan sepasang baju putih ke dalam tasku. Baju itu bertuliskan I LOVE ICHA dan I LOVE RIO. Yang rencananya akan kami pakai saat liburan ke Bali bulan depan nanti bersama keluarganya.
            Seperti biasa perjalanan ke kediaman Rio hanya sebentar, dan setelah 30 menit aku sudah sampai di depan rumahnya. Kenapa ramai sekali disana? Ada apa? Apa ini kejutan untukku? Tapi kenapa harus sebanyak ini tamu yang dia undang hari inn?
            Tibalah aku tepat di depan rumahnya. Aku melihat seseorang terbujur kaku tertidur di atar karpet di selimuti kain putih. Ya Tuhan siapa yang meninggal ? ada apa ini sebenarnya?
            Tiba – tiba saja ibunda Rio menghampiriku, memeluku, menangis, menciumiku, dan aku masih berdiri kebingungan menatap kosong mayat yang terbujur kaku di depanku. Ya Allah apa yang ku fikirkan ini sama dengan kenyataan yang sekarang di depan mataku? Semoga saja tidak.
            Ini hari ulang tahunku, di dalam tasku ada sepasang baju yang akan kami pakai liburan nanti. “Cha kamu tabah ya saying, ini kehendak Allah” ibu mengawali pembicaraan.
            Ya Tuhan ternyata yang tadi aku fikirkan benar. Aku menjerit menangis berlari memeluk sosok yang sangat ku cintai kini terbujur kaku menunggu saatnya di kuburkan. “Rio bangun…Rio…bangun… lihat ini baju yang sempat kau pesan padaku untuk liburan kta nanti. Lihat Rio baguskan? Lihat Rio … lihat. Ayo bangun Rio bangun.. kau berjanji tak akan tinggalkan aku sendiri…Rio bangun !” tangisku tedengar begitu keras. Tak bisa ku berbicara lagi. Kesedihan masih merajaiku.
            Sampai akhirnya Rio lenyap bersama tanah. Beristirahat di tempat peristirahatan terakhirnya. Dan aku….aku….aku entah bagaimana. Aku mengalami beratnya hipud yang pernah Rio alami hingga dia depresi.

Terlalu cepat ku menyayangimu
Tak cukup bercerita
Namun terlanjur ku mencintaimu
Meski ku tak mengenalmu

Hingga akhirnya ku terjebak
Dalam kesalahan
Tuk mencintaimu
Hingga kini aku tak mampu
Tuk melepaskan diriku
Dan melupakanmu


Rio satu hal yang perlu kau tahu, kau selalu ada di hatiku di cintaku dan di hidupku. Aku yakin kau tetap menjagaku saat ini. Dan aku berjanji padamu aku akan tetap bekerja di kantor ini menolong orang – orang sepertimu untukmu…
Untukmu….. untukmu….. untukmu….. Love you Rio. You are my true love.






~TAMAT~







Tidak ada komentar:

Posting Komentar