PUISI UNTUK SANG PEMIMPIN
Ini adalah suara seorang remaja, suara kesedihan, suara tanpa kebanggaan. Yang terukir dalam sederet kalimat indah walau tak seindah tanahku yang dulu. Dengarlah wahai kau pemimpinku.
Wahai kau yang disana...
Tak lihatkah engkau keindahan yang tengah teralpakan ini?
Tak sayangkah kau akan warna hidup ini?
Mengapa hidup harus kalah oleh air?
Mengapa damai harus hancur tanpa air pula?
Kering salah... Basahpun tetap saja salah
Bagaimana benar yang sebenarnya itu?
Apa harus mendengar teriakan terlebih dulu?
"TOLONG...TOLONG...TOLONG..."
Seperti itukah?
Apa harus tubuh mereka kekeringan terlebih dahulu?
Ataukah harus mayat yang kaku kau lihat bergelimpangan dahulu?
Tahukah engkau tuan?
Rasa takut bersemadi dalam tangis dan doa mereka
Lirih dan bersabar setiap kali musim berganti
Entah apa yang sebenarnya mereka tunggu
Karena datangnyapun tak tahu darimana
Tuan...mereka kesakitan..kedinginan..kelaparan..
Saat bumi muntahkan air dari kegeraman alam
Saat hawa panas selimuti kekeringan hati
Merekalah yang rasakan sengsaranya peringatan
Ingatlah tuan..peringatan takan dimakan terdakwa saja
Melainkan mereka juga yang tak berdosa
Melainkan mereka juga yang tak tahu salahnya apa
Menjerit...menangis...mati..koma..
Sungguh sakit aku rasakan itu
Andai tuan tahu
Andai aku seorang kaya
Tak akan ku dapati mereka menangis
Kedinginan, kehausan, kesakitan lagi
Sayang...aku hanya dapat berangan
Ditengah kesengsaraan saudaraku itu
Dibawah hiruk pikuk tikus-tikus menyebalkan
Namun hukum tak cukup jadi racun tikus
Denagrlah suara-suara ini tuan
Kasihan saudaraku itu
Haknya terasa menjadi satu angan yang berlebihan
"saat ingin merasakan beras berlimpah"
"Saat ingin merasakan mobil mewah"
"Saat ingin menikmati duniawimu tuan"
"dan saat ingin tidur dalam lelap yang layak"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar